Yak 2, 1-9
 ... Dengarkanlah,
 hai saudara-saudara yang kukasihi! Bukankah Allah memilih orang-orang 
yang dianggap miskin oleh dunia ini untuk menjadi kaya dalam iman dan 
menjadi ahli waris Kerajaan yang telah dijanjikan-Nya kepada mereka 
yang mengasihi Dia? Tetapi kalian telah menghinakan orang-orang miskin. 
Bukankah justru orang-orang kaya yang menindas kamu dan yang 
menyeret kamu ke pengadilan? Bukankah mereka yang menghujat Nama yang 
mulia, yang oleh-Nya kalian menjadi milik Allah?....Jika kalian 
membeda-bedakan orang di hadapan hukum (kasih) karena kaya miskinnya, 
kalian berbuat dosa dan oleh hukum itu menjadi nyata bahwa kalian 
melakukan pelanggaran.
 Mrk 8, 27-33
 Yesus dan murid-murid-Nya blusukan ke kampung-kampung di sekitar 
Kaisarea Filipi dan pada saat itu Yesus menanyakan soal identitas 
diri-Nya bagi mereka. Aneka jawaban diberikan seturut kata orang, dan 
ketika diminta pandangan mereka sendiri, Petrus menjawab bahwa Yesus 
adalah Mesias. Tetapi, ketika Yesus menjelaskan apa itu Mesias (yang 
harus menderita, ditolak, dibunuh, lalu bangkit setelah tiga hari), 
Petrus malah menegur Yesus. Yesus balik memarahi Petrus, "Enyahlah 
Iblis, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, 
melainkan apa yang dipikirkan manusia."
Kemarin lusa kita disodori kisah perbedaan cara pandang Yesus dan murid-muridnya.
 Hari ini kita mendengar pokok yang sama: Yesus bicara mengenai Mesias 
sejati (yang komplet dengan penolakan, sengsara, kematian dan 
kebangkitan), sementara Petrus hanya pikir mengenai kejayaan Mesias. 
Belum ada dalam kamus Petrus dan murid yang lain bahwa kejayaan Mesias 
itu dicapai dengan penderitaan. Mesias haruslah sosok mulia yang mengalahkan segala kejahatan tanpa harus mengeluarkan setetes darah pun. Cara pandang shortcut Petrus
 dan murid-murid Yesus yang lain inilah yang rupanya membuat mereka 
bebal dan tak juga bisa memahami perkataan-perkataan Yesus.
Cara 
pandang ini justru memuat bahaya yang belakangan terkuak: orang 
menggunakan segala cara supaya dapat memenangkan tuntutannya, 
mengalahkan musuh, menggembosi partai lawan. Orang berduit bisa 
mempermainkan hukum dan semakin tertindaslah orang yang tak berduit. Ini
 adalah penyelesaian persoalan dengan cara pikir manusiawi yang 
sesungguhnya membebani setiap pihak: yang menuntut dan yang dituntut 
akhirnya main uang, hakimnya sendiri dibuat tumpul hatinya.
Akan 
tetapi, bagaimana mungkin kita berpikir dengan cara pikir Allah? Mungkin
 saja. Kriterianya: menerapkan hukum kasih secara adil bagi siapa saja 
tanpa memandang status sosial-ekonomi. Di hadapan hukum kasih Allah, 
semua orang sederajat, tidak ada pilih kasih atas dasar kekuasaan dan 
kekayaan yang dimiliki orang. Orang kristen dituntut menerapkan hukum 
kasih nan adil itu dengan risiko: kalau hujan deras, orang baik membawa 
payung, orang jahat tidak membawa payung, dan yang menanggung derita 
adalah orang baik, karena orang jahat merampas payungnya.
Kemuliaan
 (kesuksesan, kekayaan, kesejahteraan) yang dicapai tanpa penderitaan 
barangkali tak bermakna banyak karena hanya mendompleng kemuliaan orang 
lain: swarga nunut neraka katut....

 
No comments:
Post a Comment