Abu vulkanik yang menempel pada talang dan tidak segera dibersihkan 
akan menimbulkan masalah: jika bercampur air dan tidak larut pergi akan 
melekat pada talang. Sulit dibersihkan, menjadi beban bagi talang dan 
kapasitasnya 'menjalankan tugas' berkurang karena volume daya tampungnya
 menjadi lebih kecil.
Dalam tradisi hidup rohani, kondisi seperti itu dikenal sebagai suatu kelekatan, attachment, dari bahasa Perancis kuno atache, yang berarti memakukan objek kepada sesuatu yang lain. Apa yang dipakukan? Desire!
Setelah
 dua dekade mendengarkan begitu banyak pasien, Gerald G. May, seorang 
psikiatris Amerika, yakin bahwa semua orang memiliki suatu kerinduan, 
bahkan lebih dari itu, hasrat meluap-luap yang built-in dalam dirinya: inborn desire for God.
 Entah orang sadar diri sebagai makhluk religius atau tidak, hasrat itu 
merupakan kerinduan terdalam dan menjadi harta karun yang paling 
berharga. Harta itulah yang memberi makna.
Akan tetapi, sebagian 
orang memendam hasrat itu, menimbuni hasrat itu dengan begitu banyak 
kepentingan dengan berbagai cara: sebagai kerinduan akan wholeness,
 pemenuhan, pelengkapan. Bagaimanapun dijelaskan, itu adalah kerinduan 
akan cinta (dan tak sedikit orang menertawakan kata ini): kelaparan akan
 cinta, dicintai, dan mendekat pada Sumber cinta itu. Ini adalah esensi 
roh manusia, asal dari segala harapan tertinggi dan mimpi yang paling 
mulia.
Mengapa orang sering memendam hasrat akan cinta itu? Karena cinta membuat orang rapuh terhadap luka. Kata passion, yang biasa dipakai untuk mengungkapkan hasrat cinta yang kuat, berasal dari akar kata bahasa Latin passus,
 yang berarti 'menderita'. Orang tahu bahwa selain membawa kegembiraan, 
cinta bisa membuatnya menderita. Ini terjadi setelah seseorang menolak, 
mengibaskan cintanya; hasrat orang terlumpuhkan dan mungkin butuh waktu 
lama sekali sebelum ia siap untuk mencinta lagi.
Manusiawi tentu 
saja! Kita menekan kerinduan kita jika orang melukai kita secara 
keterlaluan. Barangkali tidak mengherankan juga bahwa kemudian kita 
melakukan hal yang sama terhadap kerinduan terdalam kita kepada Tuhan. 
Tuhan tidak selalu datang kepada kita dengan cara yang menyenangkan, 
yang sesuai dengan harapan kita. Akibatnya, kita menekan, mengabaikan 
kerinduan akan Tuhan tersebut.
Ketika kita menekan, memendam suatu
 hasrat, kita berusaha mengeluarkan hasrat itu dari kesadaran kita. Kita
 mencoba mengarahkan fokus kita kepada hal lain, hal-hal yang lebih 
aman, yang tidak melukai diri kita. Ini yang dalam psikologi dikenal 
sebagai displacement. Akan tetapi, sesuatu yang ditekan itu 
tidak sungguh-sungguh hilang; ia toh tetap tinggal dalam diri kita. Kita
 bisa saja memendam kerinduan akan Allah itu, tetapi kerinduan itu 
menghantui kita. Kerinduan itu tetap tinggal dan sewaktu-waktu muncul 
ketika kita siap berurusan dengannya. Karena itu, represi, pemendaman 
kerinduan itu sifatnya fleksibel, masih bisa kita olah sendiri.
Addiction,
 lebih merusak daripada represi, melecehkan kebebasan kita dan membuat 
kita melakukan sesuatu yang sebenarnya kita tidak ingin melakukannya 
(bdk. Rom 7:15). Jika represi melumpuhkan desire, kecanduan itu memantek desire,
 mengikat dan memperbudak energi hasrat itu pada perilaku, benda, atau 
orang tertentu. Objek kelekatan itulah yang kemudian menjadi obsesi dan 
keprihatinan kita, yang menyetir hidup kita, menciptakan addiction.
Kita semua memiliki addiction, yang menjadi musuh terburuk diri kita. Addiction ini merantai kita sedemikian rupa sehingga kita tak bisa lagi mengontrolnya. Addiction
 ini juga membuat kita memberhalakan sesuatu, memaksa kita untuk 
mendewakan objek kelekatan kita sehingga kita tak lagi bisa bebas 
mencintai Tuhan dan sesama. Addiction sungguh menjadi musuh kebebasan manusia, antipati terhadap cinta. 
Meskipun demikian, addiction secara paradoksal bisa menuntun kita pada apresiasi mendalam terhadap apa yang disebut rahmat. Pengakuan adanya addiction bisa membimbing kita pada sikap tafakur, berlutut di hadapan kekuatan yang melampaui kontrol diri kita: rahmat.
Psikoterapi tradisional, yang mengandalkan pelepasan aneka represi dalam diri manusia, telah membuktikan bahwa treatment terhadap represi itu tidak efektif jika diterapkan pada kasus addiction. Metode itu juga menunjukkan mengapa addiction menjadi musuh psikis terkuat terhadap hasrat manusia akan Tuhan, karena posisinya memang antagonis terhadap rahmat.
Bak
 seorang dokter yang mengapresiasi sakit seseorang, ia senang bahwa 
pasien bisa mengatakan sakitnya, bukan karena dokter akan mendapat 
bayaran atau karena dokter senang melihat penderitaan orang lain, 
melainkan karena dengan mengetahui bagian-bagian yang sakit, dokter bisa
 melakukan diagnose, treatment yang tepat, yang bisa 
menyembuhkan pasien itu. Dalam arti itulah bisa dipahami bahwa di mana 
ada banyak dosa, di situ rahmat berlimpah (Rom 5:20).
Demikian halnya, pengakuan akan adanya addiction dalam diri kita memberi kemungkinan bagi kita untuk menghargai rahmat, karena addiction
 tidak cukup dihentikan dengan usaha atau kekuatan kita sendiri. 
Dibutuhkan rahmat juga supaya kita terbebaskan dari aneka belenggu 
kelekatan dan addiction.
Sumber: Gerald G. May, Addiction & Grace: Love and Spirituality in the Healing of Addictions.

 
No comments:
Post a Comment