Friday, February 21, 2014

Principle and Foundation of Human Life

Banyak orang gagap menjawab pertanyaan mengenai tujuan hidupnya dengan aneka alasan. Pada umumnya orang mengatakan (karena begitulah dikatakan orang lain) bahwa tujuan hidup manusia adalah mencari kebahagiaan.
Orang seolah tidak sadar bahwa kebahagiaan merupakan suasana yang tidak perlu dicari-cari: ia sendiri bisa menciptakannya, entah dengan meditasi, entah dengan aneka manipulasi. Lha, andaikanlah hidup ini seperti lomba marathon. Startnya adalah kelahiran kita dan garis finishnya adalah kematian. Di manakah kebahagiaan itu kita tempatkan? Kalau kita mau konsisten dengan target atau tujuan, kebahagiaan itu kita tempatkan di garis finish. Artinya, kebahagiaan itu nanti dicapai pada saat kematian!
Pada kenyataannya, karena kebahagiaan adalah suatu suasana, ia tidak perlu ditunggu adanya sampai setelah orang mati. Orang bisa bahagia sekarang ini dan di sini. Orang yang enjoy dengan waktu dan tempat hidupnya, tentulah dia happy, tidak dihancurkan oleh aneka problematika, perasaan, konflik, beban hidupnya. Orang seperti ini hidup tanpa beban meskipun barangkali tugasnya berat. Orang ini enjoy dan sungguh kontak dengan kenyataan. Ia happy dan tak perlu mengidam-idamkan kebahagiaan sebagai tujuan hidupnya.
Goal of life
paro_spa
Untuk memahami tujuan hidupnya, manusia perlu menimbang-nimbang suatu azas dan dasar yang terbuka untuk semua saja tanpa tergantung pada afiliasi religius yang dihidupinya. Kalau orang secara fundamental tidak menerima azas dan dasar ini, ia tidak dapat mempertanggungjawabkan suatu hidup multidimensional yang terintegrasi dengan baik. Hidupnya, kesuciannya jatuh pada ekstrem atau ujung pendulum antara masa lalu dan masa depan, antara yang privat dan publik, antara yang duniawi dan surgawi, dan seterusnya.
Azas dan dasar ini konsekuen dengan pengakuan mengenai dua hal. Pertama, dunia ini tercipta, bagaimanapun rumusan penjelasannya. Artinya, ada Sang Pencipta, bagaimanapun diistilahkan atau dirumuskan atau dinamakan. Kedua, ada relasi antara dunia tercipta dan Sang Pencipta dalam dimensi ruang waktu ini, bagaimanapun relasi itu mau dihayati atau dijelaskan.
Azas dan dasar itu bisa dijabarkan dalam empat poin:
  1. Manusia, sosok yang berkesadaran kolektif, diciptakan Sang Pencipta untuk memuliakan Sang Penciptanya: memuji, mengabdi, melayani... Manusia tidak terlempar dari ketiadaan begitu saja: ia masuk dalam proses bahkan sejak sebelum terjadi perjumpaan benih laki-laki dan perempuan dari ayah ibunya. Proses itu berujung pada kembalinya manusia kepada ribaan Sang Pencipta. Jika demikian, untuk apakah hal-hal lain (manusia lain, hewan, tumbuhan, kejahatan, kemiskinan, agama, masyarakat, negara, bangsa dan sebagainya) di dunia ini ada dan tercipta?
  2. Ciptaan lain di dunia ini berstatus sebagai sarana manusia untuk memuliakan Sang Penciptanya. Manusia bisa menggunakan ciptaan yang lain itu sebagai sarana untuk mengabdi Sang Pencipta.
  3. Oleh karena itu, dari pihak manusia dibutuhkan suatu sikap lepas bebas (detachment) terhadap sarana-sarana itu. Artinya, ia bisa memakai ciptaan lain sejauh mendukung dirinya untuk mengabdi Sang Pencipta dan melepaskan ciptaan itu sejauh tidak mendukung tujuannya diciptakan. Ia tidak perlu menginginkan sehat lebih daripada menginginkan sakit (karena sakit pun bisa mendukung orang untuk memuji Sang Pencipta), juga tak perlu mengidam-idamkan kekayaan lebih daripada mengharapkan kemiskinan. Pokoknya manusia sadar bahwa anything may happen to his life dan kesemuanya itu bisa menjadi sarana, tetapi juga bisa menjadi penghambat.
  4. Akan tetapi, kalau orang sungguh sudah lepas bebas terhadap aneka sarana, ia pun mestilah mengusahakan suatu sarana yang lebih tepat bagi dia untuk mencapai tujuannya. Meskipun ia sudah lepas bebas terhadap entah menjadi kaya atau miskin, ia haruslah mengupayakan sarana yang paling tepat baginya untuk mencapai tujuannya memuliakan Sang Pencipta.
Beberapa catatan penting:
  • Tujuan hidup manusia bukan kata benda (kekayaan, jabatan, prestasi, popularitas) atau kata sifat (sukses, bahagia, damai, tenang), melainkan kata kerja, suatu aktivitas. Ini mengindikasikan bahwa tujuan itu dikejar sepanjang hayatnya dan orang tak perlu terpaku pada hasil (NATO: No Attachment To the Outcome).
  • Kekeliruan manusia pada umumnya, mereka menerapkan azas ke-4 tanpa dasar azas ke-3 sehingga memutarbalikkan sarana sebagai tujuan dan tujuan malah menjadi sarana (menggembar-gemborkan religiusitas demi meningkatkan pendapatan bisnisnya). Orang mengklaim mencari harta demi mengabdi Sang Pencipta (dengan menyejahterakan banyak orang), tetapi ketika bisnisnya collapse dan jatuh miskin, dia stress berat dan tak bisa bangkit; itu adalah indikasi kuat bahwa harta bukan lagi sarana (kecuali jika stressnya disebabkan oleh compassion terhadap orang-orang lain yang menanggung akibat bisnisnya yang collapse).

Faith synchronized!

Jumat Masa Biasa VIa/II
Yak 2, 14-24.26
Apa gunanya, Saudara-saudaraku, jika orang berkata bahwa ia memiliki iman padahal ia tidak mempunyai perbuatan? Bisakah iman itu menyelamatkan dia? Jika seorang saudara atau saudari tak mempunyai pakaian dan kekurangan makanan sehari-hari, dan seorang dari kalian berkata,"Pergilah dalam damai, pakailah baju hangat dan makanlah sampai kenyang" tetapi ia tidak memberikan kepada orang itu apa yang dia perlukan bagi tubuhnya, apakah gunanya itu? Demikian juga iman: jika iman tidak disertai perbuatan, iman itu pada hakikatnya mati.
Mrk 8, 34 - 9,1
Setiap orang yang mau ikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya. Karena siapa yang mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku dan karena Injil, ia akan menyelamatkannya.

imagesCASIW5WV
Imam jafar
Kata-kata Imam Ja'far ini dapat merangkum poin bacaan pertama: klaim bahwa orang memiliki iman dibenarkan jika klaim itu sinkron dengan perbuatannya kepada sesama. Persoalannya, sinkronisasi iman dan perbuatan tidak sesederhana sinkronisasi dari kamera ke komputer atau dari flash drive ke laptop, misalnya. Sinkronisasi seperti ini secara teknis tidak memiliki kesulitan yang canggih, cukup melakukan beberapa klik sehingga data pada peranti tablet sama persis dengan data yang ada pada komputer atau server yang kita gunakan. Demikian halnya, untuk membuat sinkron data sistem komputer atau antivirus, hanya dibutuhkan koneksi internet dan beberapa klik sehingga kita bisa memastikan bahwa sistem kita benar-benar up to date.
Sinkronisasi iman-perbuatan rupanya menuntut suatu askese, penyangkalan diri, karena dalam diri manusia ada hukum-hukum yang bisa saling bertentangan. Misalnya, seseorang sesungguhnya ingin sekali pergi ke gereja untuk menyusun suatu liturgi yang hidup bersama anggota tim lainnya, tetapi pada saat yang sama ia tertarik untuk menonton pertandingan tim Indonesia melawan Malaysia yang tidak disiarkan secara ulang. Contoh lain, di satu sisi orang ingin dekat dengan kaum miskin, akan tetapi di lain sisi ia menikmati kemewahan fasilitasnya sendiri. Orang tidak bisa keluar dari zona nyamannya.
Di situlah letak relevansi sabda Kristus: tidak bisa orang mengikuti Kristus tetapi mempertahankan kelekatan-kelekatannya, bahkan kelekatan pada ajaran agama atau paham tentang Allahnya sekalipun. Setiap saat umat beriman dipanggil untuk membuat sinkronisasi seluruh hidupnya dengan sebuah azas dan dasar yang terbuka untuk seluruh umat manusia. Di sini dia mesti terbuka untuk menanggalkan paham-pahamnya yang sesat, yang seringkali jauh lebih sulit daripada melepaskan barang-barang duniawi. Tanya kenapa....

Thursday, February 20, 2014

Put your liberating glasses on!

Yak 2, 1-9
... Dengarkanlah, hai saudara-saudara yang kukasihi! Bukankah Allah memilih orang-orang yang dianggap miskin oleh dunia ini untuk menjadi kaya dalam iman dan menjadi ahli waris Kerajaan yang telah dijanjikan-Nya kepada mereka yang mengasihi Dia? Tetapi kalian telah menghinakan orang-orang miskin. Bukankah justru orang-orang kaya yang menindas kamu dan yang menyeret kamu ke pengadilan? Bukankah mereka yang menghujat Nama yang mulia, yang oleh-Nya kalian menjadi milik Allah?....Jika kalian membeda-bedakan orang di hadapan hukum (kasih) karena kaya miskinnya, kalian berbuat dosa dan oleh hukum itu menjadi nyata bahwa kalian melakukan pelanggaran.
Mrk 8, 27-33
Yesus dan murid-murid-Nya blusukan ke kampung-kampung di sekitar Kaisarea Filipi dan pada saat itu Yesus menanyakan soal identitas diri-Nya bagi mereka. Aneka jawaban diberikan seturut kata orang, dan ketika diminta pandangan mereka sendiri, Petrus menjawab bahwa Yesus adalah Mesias. Tetapi, ketika Yesus menjelaskan apa itu Mesias (yang harus menderita, ditolak, dibunuh, lalu bangkit setelah tiga hari), Petrus malah menegur Yesus. Yesus balik memarahi Petrus, "Enyahlah Iblis, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia."
imagesCASIW5WV
Kemarin lusa kita disodori kisah perbedaan cara pandang Yesus dan murid-muridnya. Hari ini kita mendengar pokok yang sama: Yesus bicara mengenai Mesias sejati (yang komplet dengan penolakan, sengsara, kematian dan kebangkitan), sementara Petrus hanya pikir mengenai kejayaan Mesias. Belum ada dalam kamus Petrus dan murid yang lain bahwa kejayaan Mesias itu dicapai dengan penderitaan. Mesias haruslah sosok mulia yang mengalahkan segala kejahatan tanpa harus mengeluarkan setetes darah pun. Cara pandang shortcut Petrus dan murid-murid Yesus yang lain inilah yang rupanya membuat mereka bebal dan tak juga bisa memahami perkataan-perkataan Yesus.
Cara pandang ini justru memuat bahaya yang belakangan terkuak: orang menggunakan segala cara supaya dapat memenangkan tuntutannya, mengalahkan musuh, menggembosi partai lawan. Orang berduit bisa mempermainkan hukum dan semakin tertindaslah orang yang tak berduit. Ini adalah penyelesaian persoalan dengan cara pikir manusiawi yang sesungguhnya membebani setiap pihak: yang menuntut dan yang dituntut akhirnya main uang, hakimnya sendiri dibuat tumpul hatinya.
Akan tetapi, bagaimana mungkin kita berpikir dengan cara pikir Allah? Mungkin saja. Kriterianya: menerapkan hukum kasih secara adil bagi siapa saja tanpa memandang status sosial-ekonomi. Di hadapan hukum kasih Allah, semua orang sederajat, tidak ada pilih kasih atas dasar kekuasaan dan kekayaan yang dimiliki orang. Orang kristen dituntut menerapkan hukum kasih nan adil itu dengan risiko: kalau hujan deras, orang baik membawa payung, orang jahat tidak membawa payung, dan yang menanggung derita adalah orang baik, karena orang jahat merampas payungnya.
Kemuliaan (kesuksesan, kekayaan, kesejahteraan) yang dicapai tanpa penderitaan barangkali tak bermakna banyak karena hanya mendompleng kemuliaan orang lain: swarga nunut neraka katut....

Intermezzo: Attachment and Grace

Abu vulkanik yang menempel pada talang dan tidak segera dibersihkan akan menimbulkan masalah: jika bercampur air dan tidak larut pergi akan melekat pada talang. Sulit dibersihkan, menjadi beban bagi talang dan kapasitasnya 'menjalankan tugas' berkurang karena volume daya tampungnya menjadi lebih kecil.
Dalam tradisi hidup rohani, kondisi seperti itu dikenal sebagai suatu kelekatan, attachment, dari bahasa Perancis kuno atache, yang berarti memakukan objek kepada sesuatu yang lain. Apa yang dipakukan? Desire!
paro_spa
Setelah dua dekade mendengarkan begitu banyak pasien, Gerald G. May, seorang psikiatris Amerika, yakin bahwa semua orang memiliki suatu kerinduan, bahkan lebih dari itu, hasrat meluap-luap yang built-in dalam dirinya: inborn desire for God. Entah orang sadar diri sebagai makhluk religius atau tidak, hasrat itu merupakan kerinduan terdalam dan menjadi harta karun yang paling berharga. Harta itulah yang memberi makna.
Akan tetapi, sebagian orang memendam hasrat itu, menimbuni hasrat itu dengan begitu banyak kepentingan dengan berbagai cara: sebagai kerinduan akan wholeness, pemenuhan, pelengkapan. Bagaimanapun dijelaskan, itu adalah kerinduan akan cinta (dan tak sedikit orang menertawakan kata ini): kelaparan akan cinta, dicintai, dan mendekat pada Sumber cinta itu. Ini adalah esensi roh manusia, asal dari segala harapan tertinggi dan mimpi yang paling mulia.
Mengapa orang sering memendam hasrat akan cinta itu? Karena cinta membuat orang rapuh terhadap luka. Kata passion, yang biasa dipakai untuk mengungkapkan hasrat cinta yang kuat, berasal dari akar kata bahasa Latin passus, yang berarti 'menderita'. Orang tahu bahwa selain membawa kegembiraan, cinta bisa membuatnya menderita. Ini terjadi setelah seseorang menolak, mengibaskan cintanya; hasrat orang terlumpuhkan dan mungkin butuh waktu lama sekali sebelum ia siap untuk mencinta lagi.
Manusiawi tentu saja! Kita menekan kerinduan kita jika orang melukai kita secara keterlaluan. Barangkali tidak mengherankan juga bahwa kemudian kita melakukan hal yang sama terhadap kerinduan terdalam kita kepada Tuhan. Tuhan tidak selalu datang kepada kita dengan cara yang menyenangkan, yang sesuai dengan harapan kita. Akibatnya, kita menekan, mengabaikan kerinduan akan Tuhan tersebut.
Ketika kita menekan, memendam suatu hasrat, kita berusaha mengeluarkan hasrat itu dari kesadaran kita. Kita mencoba mengarahkan fokus kita kepada hal lain, hal-hal yang lebih aman, yang tidak melukai diri kita. Ini yang dalam psikologi dikenal sebagai displacement. Akan tetapi, sesuatu yang ditekan itu tidak sungguh-sungguh hilang; ia toh tetap tinggal dalam diri kita. Kita bisa saja memendam kerinduan akan Allah itu, tetapi kerinduan itu menghantui kita. Kerinduan itu tetap tinggal dan sewaktu-waktu muncul ketika kita siap berurusan dengannya. Karena itu, represi, pemendaman kerinduan itu sifatnya fleksibel, masih bisa kita olah sendiri.
Addiction, lebih merusak daripada represi, melecehkan kebebasan kita dan membuat kita melakukan sesuatu yang sebenarnya kita tidak ingin melakukannya (bdk. Rom 7:15). Jika represi melumpuhkan desire, kecanduan itu memantek desire, mengikat dan memperbudak energi hasrat itu pada perilaku, benda, atau orang tertentu. Objek kelekatan itulah yang kemudian menjadi obsesi dan keprihatinan kita, yang menyetir hidup kita, menciptakan addiction.
Kita semua memiliki addiction, yang menjadi musuh terburuk diri kita. Addiction ini merantai kita sedemikian rupa sehingga kita tak bisa lagi mengontrolnya. Addiction ini juga membuat kita memberhalakan sesuatu, memaksa kita untuk mendewakan objek kelekatan kita sehingga kita tak lagi bisa bebas mencintai Tuhan dan sesama. Addiction sungguh menjadi musuh kebebasan manusia, antipati terhadap cinta.
Meskipun demikian, addiction secara paradoksal bisa menuntun kita pada apresiasi mendalam terhadap apa yang disebut rahmat. Pengakuan adanya addiction bisa membimbing kita pada sikap tafakur, berlutut di hadapan kekuatan yang melampaui kontrol diri kita: rahmat.
Psikoterapi tradisional, yang mengandalkan pelepasan aneka represi dalam diri manusia, telah membuktikan bahwa treatment terhadap represi itu tidak efektif jika diterapkan pada kasus addiction. Metode itu juga menunjukkan mengapa addiction menjadi musuh psikis terkuat terhadap hasrat manusia akan Tuhan, karena posisinya memang antagonis terhadap rahmat.
Bak seorang dokter yang mengapresiasi sakit seseorang, ia senang bahwa pasien bisa mengatakan sakitnya, bukan karena dokter akan mendapat bayaran atau karena dokter senang melihat penderitaan orang lain, melainkan karena dengan mengetahui bagian-bagian yang sakit, dokter bisa melakukan diagnose, treatment yang tepat, yang bisa menyembuhkan pasien itu. Dalam arti itulah bisa dipahami bahwa di mana ada banyak dosa, di situ rahmat berlimpah (Rom 5:20).
Demikian halnya, pengakuan akan adanya addiction dalam diri kita memberi kemungkinan bagi kita untuk menghargai rahmat, karena addiction tidak cukup dihentikan dengan usaha atau kekuatan kita sendiri. Dibutuhkan rahmat juga supaya kita terbebaskan dari aneka belenggu kelekatan dan addiction.
Sumber: Gerald G. May, Addiction & Grace: Love and Spirituality in the Healing of Addictions.

Gerald G. May on Desire

Desire
There is a desire within each of us,
in the deep center of ourselves
that we call our heart.
We were born with it,
it is never completely satisfied,
and it never dies.
We are often unaware of it,
but it is always awake.
It is the Human desire for Love.
Every person in this Earth yearns to love,
to be loved, to know love.
Our true identity, our reason for being
is to be found in this desire.
Love is the "why" of life,
why we are functioning at all.
I am convinced
it is the fundamental energy
of the human spirit.
the fuel on which we run,
the wellspring of our vitality.
And grace,
which is the flowing,
creative activity, of love itself,
is what makes all goodness possible.
Love should come first,
it should be the beginning of,
and the reason for everything.”

Wednesday, February 19, 2014

Dengarkan dulu, lalu kerjakan secara total

Rabu Masa Biasa VIa/II
Yak 1,19-27
Hendaknya setiap orang siap mendengarkan, tak tergesa-gesa bicara dan lamban untuk marah. Kemarahan manusia memang tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Tuhan. Karena itu,  bebaskan diri kalian segala ketidakmurnian dan kejahatan, dan terimalah dengan lemah lembut firman yang tertanam dalam diri kalian, yang dapat membawa kalian kepada keselamatan.
Mrk 8,22-26
Yesus dan murid-muridnya tiba di Betsaida, dan di situ orang membawa kepada Yesus seorang buta supaya Yesus menjamahnya. Yesus memegang tangan orang buta itu dan membawa dia keluar kampung, lalu Ia meludahi mata orang itu dan meletakkan tangan-Nya atasnya... Yesus meletakkan lagi tangan-Nya pada mata orang itu, maka orang itu sungguh-sungguh melihat dan telah sembuh sehingga dapat melihat segala sesuatu dengan jelas bahkan dari kejauhan...
 imagesCASIW5WV
Penyembuhan Yesus kali ini tidak seperti penyembuhan yang dikisahkan di tempat lain: terjadi secara gradual. Rupanya Yesus tidak terikat pada metode tertentu untuk menyembuhkan orang. Dia bisa saja menyembuhkan hanya dengan mengucapkan sepatah dua patah kata, tetapi kali ini Yesus bahkan menuntun orang itu ke luar kampung (barangkali supaya tingkat ketuntasannya bisa diverifikasi, melihat dari jarak dekat sampai jauh).
Orang buta ini sendiri tampaknya tidak sangat antusias seperti orang-orang sakit lainnya yang menginginkan kesembuhan. Ini seperti orang yang tak sadar diri sebagai orang sakit, orang rapuh, yang butuh disembuhkan: ia buta juga secara spiritual. Proses kesembuhannya justru ditopang oleh iman orang lain kepada Yesus, sang pembawa mukjizat.
Untuk menyembuhkan orang yang mengalami kebutaan rohani seperti itu, rupanya Kristus menyentuh dimensi pengetahuannya yang rancu; tak bisa membedakan antara orang dan pohon. Lama-lama pengetahuan itu semakin clear & distinct. Semula ia tak pikir mengenai kesembuhan karena tak punya kepercayaan sehingga tidak begitu antusias, tetapi dalam bimbingan Kristus, ia sungguh sembuh total. Yesus melakukan tugasnya hingga tuntas, betapapun metodenya bisa berbeda.
Akan tetapi, keselamatan yang dibawa-Nya terwujud ketika orang memiliki keterbukaan hati: siap mendengarkan, tak tergesa-gesa berkomentar untuk menyanggah, apalagi bereaksi secara emosional terhadap hal yang orang kurang menaruh kepercayaannya. Kalau belum paham, bagaimana orang bisa memberi respon yang tepat?
Ya Tuhan, semoga aku dapat belajar untuk lebih mendengarkan atas hal-hal yang aku kurang paham dan berani mengerjakan tugas secara tuntas, tidak setengah-setengah atau terseret mood, dengan aneka cara yang bisa diambil. Amin.

Tuesday, February 18, 2014

You miss the point, bro'...

Yak 1, 12-18
Berbahagialah orang yang bertahan dalam pencobaan karena jika ia tahan uji, ia akan menerima mahkota kehidupan yang dijanjikan Allah kepada mereka yang mengasihi Dia... setiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri karena ia terpikat dan diseret olehnya....
Mrk 8, 14-21
Para murid kelupaan membawa roti dan Yesus berkata supaya mereka waspada terhadap ragi Herodes dan orang-orang Farisi. Lalu mereka meributkan mengapa guru mereka sampai berkata seperti itu: karena mereka tak punya roti (dan mereka saling menyalahkan). Yesus menegur mereka karena mereka gagal memahami bukan hanya perkataan Yesus, melainkan juga aneka peristiwa mukjizat yang mereka lihat dan alami sendiri.
paro_spa
Ragi Herodes dan orang Farisi juga disinggung lebih panjang dalam Injil Lukas bab 12. Seperti orang Farisi, Herodes meminta tanda juga: untuk menghancurkan anak yang diramalkan menjadi raja, menjadi ancaman bagi dirinya. Ragi ini merasuki banyak orang dan bisa menyesatkan orang dari jalan yang benar. Yesus melihat bahwa ragi ini memang sedang bekerja (sampai akhirnya kelak orang banyak meminta Yesus sendiri disalibkan).
Saat persekongkolan demi solidaritas cinta yang semu menjadi jalan kompromi terhadap prinsip-prinsip kesucian, saat itulah pasifisme, relativisme, sinkretisme, sikap permisif menggerogoti rumah Tuhan. Persekongkolan seperti ini tidak bisa dihadapi dengan kedangkalan rohani: para murid lebih sibuk dengan persoalan ada tidaknya roti, siapa yang bertanggung jawab atas ketiadaan roti. Mereka seolah-olah lupa juga bahwa baru saja mereka mengalami penggandaan roti yang begitu luar biasa. Mereka tidak menangkap poin yang disampaikan Yesus: trust kepada Bapa jauh lebih penting daripada soal siapa yang harusnya membawa roti [siapa yang mestinya menjaga 'kapel adorasi', siapa yang seharusnya memberi khotbah, siapa yang boleh mengucapkan doxologi dan sebagainya].
Orang mengira Tuhan mencobai dirinya, tetapi jelas cobaan itu diciptakannya sendiri karena tak menangkap apa yang dipesankan Yesus: andalkanlah Tuhan, bukan aneka peraturan yang memang bisa menarik orang untuk saling mempersalahkan! Orang tidak dapat tahan uji jika tidak mengingat betapa besar cinta Tuhan kepadanya.

Kesucian Narcisistik

Ide ini muncul dari analisis struktural terhadap cerpen A.A. Navis berjudul Robohnya Surau Kami. Baik Kakek penjaga surau maupun Haji Saleh sama-sama terdorong untuk masuk surga dan karena itu berusaha mencari kesucian/kesalehan yang diridai Allah. Tujuan akhir pencarian itu adalah keselamatan diri mereka sendiri. Maka mereka menaati seluruh perintah agama, bahkan yang bersifat sunnah sekalipun, demi mencapai kepentingan diri itu. Mereka mengejar kesucian demi kesucian itu sendiri. Apa-apa saja mereka lakukan untuk mendapat status suci. Kesucian seperti itu menjadi segala-galanya dan tidak diletakkan dalam dimensi sosial hidup mereka.
Kesucian narcisistik dapat dimulai dengan memenuhi segala perintah dan menjauhi segala larangan agama. Orang hanya menjalankan kesucian sebagai tuntutan minimal, sebagai suatu kewajiban. Pokoknya asal sudah sesuai dengan aturan agama, orang ini puas diri.
Akan tetapi, bayang-bayang kesucian narcisistik juga bisa merasuk dalam diri mereka yang sudah melampaui  level legalistik tadi. Orang melakukan praktik kesucian yang sifatnya devosional, yang fakultatif, yang cocok dengan kondisi hatinya untuk mengalami kedamaian batin, tetapi gagal mengaitkannya dengan dunia kerja. Kesuciannya tidak berdampak, tidak terwujud dalam sikap dan tindakan bagi bonum communae, kesejahteraan atau kebaikan bersama. Ia imun terhadap persoalan sosial kemasyarakatan karena yang penting baginya adalah kesalehan pribadi: yang penting aku merasakan kedamaian ilahi (yang tak teruji dalam konflik penciptaan Allah yang terus menerus), seolah lupa bahwa Yesus datang bukan untuk membawa perdamaian, melainkan untuk membawa perpecahan. Artinya, Yesus menantang orang dalam perjuangan hidup manusiawinya untuk berpihak: berpihak kepada Allah atau kekuatan yang melawan-Nya, roh baik atau roh jahat, dan seterusnya.
Kesucian narcisistik mendesak orang untuk lari dari konflik pergulatan hidup menuju kedamaian semu yang rapuh terhadap aneka ujian. Orang yang bisa tetap damai hati dalam aneka konflik menunjukkan indikasi bahwa ia tidak sedang dalam upaya mencari kesucian narcisistik.

Desolasi (Kesepian Rohani)

Sebagaimana konsolasi, desolasi bukanlah sekadar perasaan sedih atau kesepian. Orang bisa saja tampak ceria gembira tetapi sebenarnya sedang mengalami kegalauan, kesepian luar biasa: joged2 clubbing dan pikirannya gelisah, tertawa tetapi hatinya menangis karena penuh ketakutan dan kekhawatiran. Berikut kutipan dari teks Latihan Rohani:
Yang kunamakan kesepian ialah semua kebalikan dari hiburan rohani. Misalnya, kegelapan jiwa, kekacauan batin, dan gerak hati ke arah yang serba hina dan duniawi, bingung menghadapi berbagai bujuk dan godaan yang menyeret orang ke arah hilangnya kepercayaan, tanpa harapan, tanpa cinta; jiw ada dalam keadaan lesu, kendor, sedih, seakan2 terpisah dari Pencipta dan Tuhannya. Karena, seperti halnya hiburan adalah kebalikan kesepian, begitu pula gagasan-gagasan yang keluar dari hiburan juga kebalikan dari gagasan-gagasan yang keluar dari kesepian.
Pada waktu kesepian seperti ini, jangan sekali-kali membuat perubahan, tetapi teguh dan tetap dalam niat dan keputusan yang dipegang pada hari sebelum kesepian, atau dalam keputusan yang dipegang teguh selama hiburan sebelumnya. Karena, jika dalam hiburan terutama roh baik yang memimpin dan memberi pentunjuk kepada kita, dalam kesepian terutama roh buruk yang membimbing kita. Mustahillah kita dengan petunjuk-petunjuknya dapat menemukan jalan ke arah keputusan yang benar.
(Latihan Rohani Santo Ignasius 317-318)
Memang dalam kesepian kita tak boleh mengubah niat-niat semula, tetapi besarlah faedahnya jika kita dengan keras mengubah diri dalam menghadapi kesepian itu misalnya dengan lebih tekun dalam doa, meditasi, lebih keras memeriksa diri dan menambah ukuran laku tapa yang sesuai (LR 319). Misalnya seorang yang sudah baptis dewasa tahun kehilangan gairah hidup dan mulai ragu-ragu dengan sistem kepercayaan Katolik, dalam kelesuan rohani ini ia tak boleh memutuskan pindah agama, tetapi bisa saja mempersering hadir dalam perayaan Ekaristi atau doa devotif; semula hanya setiap minggu dan hari raya, dalam kelesuan rohani menambah frekuensinya jadi dua kali seminggu.
Keputusan fundamental hendaknya tidak diambil pada saat orang mengalami desolasi.

Monday, February 17, 2014

Konsolasi (Hiburan Rohani)

Yang kumaksud hiburan ialah:
  1. keadaan ketika dalam jiwa timbul suatu gerak batin, yang membuat jiwa jadi berkobar dalam cinta kepada Pencipta dan Tuhannya sampai-sampai jiwa itu tak bisa mencintai suatu ciptaan apapun di seluruh bumi ini melulu demi bendanya itu sendiri. Jiwa itu mencintai ciptaan di bumi demi cintanya kepada Tuhan.
  2. bila orang mencucurkan air mata yang mendorong ke arah cinta kepada Tuhan yang disebabkan oleh kesedihannya atas dosa-dosanya sendiri, oleh sengsara Kristus atau lain perkara yang langsung terarah kepada pengabdian serta pujian bagi-Nya.
  3. semua tambahnya harapan, iman, dan cinta
  4. kegembiraan batin yang mengajak dan menarik perhatian orang pada perkara2 surgawi serta keselamatan jiwanya sendiri dengan membuat tenang-tentram dalam Pencipta dan Tuhannya.
(Latihan Rohani St. Ignatius 316)
Konsolasi atau hiburan rohani ini bukan rasa gembira atau senang belaka. Orang yang gembira atau ceria belum tentu sedang mengalami konsolasi. Bahkan, orang yang sedang konsolasi bisa saja justru diliputi perasaan sedih. Contoh: orang yang kehilangan sahabat, kehilangan orang yang paling dicintainya, ditinggal mati oleh suami/istri; tentu saja orang ini sedih. Akan tetapi, mana kali dalam peristiwa kematian orang tercintanya itu hatinya semakin pasrah, terpaut kepada Allah, menyerahkan hidup selanjutnya kepada penyelenggaraan Allah, ia justru sedang mengalami hiburan rohani, konsolasi.
Kebalikannya adalah desolasi.

Basic attitude toward conversion

Senin Masa Biasa VIa/II
Yak 1, 1-11
Seperti Santo Paulus mengalami konsolasi dalam segala penderitaannya (2Kor 7,4), Surat Yakobus juga menyodorkan anjuran justru untuk bergembira jika masuk dalam cobaan. Mengapa? "Sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan...supaya kamu menjadi sempurna dan utuh..."
Mrk 8, 11-13
Untuk mencobai Yesus, orang Farisi meminta satu tanda. Mendengar itu Yesus menghela nafas dalam-dalam dan menyatakan bahwa kepada generasi itu tidak akan diberi suatu tanda.
paro_spa
Tanda , ID card misalnya, memang penting untuk mengidentifikasi sesuatu. Dapat dimaklumi bahwa orang Farisi meminta tanda dari Yesus (jangan-jangan Yesus cuma orang gila seperti yang lain-lainnya). Mengapa Yesus malah menghela nafas panjang ketika dimintai tanda dan mengatakan bahwa tidak akan diberikan tanda kepada generasi ini? Bukankah dengan memberi tanda yang diminta orang Farisi itu ia bisa meyakinkan mereka bahwa dialah Mesias itu? Beri saja toh, apa susahnya?
Justru di situlah persoalannya. Basic attitude orang Farisi tidak memungkinkan mereka untuk menangkap tanda dari surga. Mereka hanya mau tanda yang cocok dengan pikiran mereka mengenai mesias. Yesus adalah tanda dari surga yang hidup, yang mengundang orang untuk bertobat. Farisi identik dengan kedangkalan, kemunafikan, legalisme: mereka lebih memilih proyek kesucian narsisistik daripada proyek pertobatan Mesias.
Di hadapan godaan dan cobaan, orang memang disodori pilihan: mengejar kesucian diri sendiri atau bertekun dengan gembira dalam on going conversion.

Sunday, February 16, 2014

Faith from within

Minggu Biasa VIa/II
Sir 15,15-20
Setiap orang bertanggung jawab atas hidupnya sendiri karena dia sendirilah yang memilih apa yang disodorkan Allah: air atau api, hidup atau mati. Pengadilan Allah hanyalah konfirmasi atas pilihan yang diambil manusia sendiri, apakah ia memihak air atau api, kehidupan atau kematian.
1Kor 2,6-10
Yesus ditolak manusia: kebijaksanaan Allah tak dapat ditolerir oleh hikmat manusia. Bahkan, hikmat Allah ini tidak bisa dikenal begitu saja oleh mereka yang mengandalkan kebijaksanaan manusia belaka. Tak mungkinlah Yang Tak Terbatas itu masuk dalam keterbatasan dan mengalami peristiwa manusiawi sampai puncak kematian. Hikmat Allah inilah yang diwartakan Paulus.
Mat 5,17-37
Yesus memandang Hukum dari sudut kebijaksanaan ilahi: dari Roh yang melatarbelakangi kemunculan Hukum Taurat. Pandangannya melengkapi pandangan manusia pada umumnya yang terpaku pada rumusan. Ia benar-benar menggenapi Hukum Taurat.
paro_spa
Memang aturan agama adalah penyokong umat beriman untuk menemukan dan menjalankan kehendak Allahnya. Akan tetapi, aturan agama ini tidak dapat dipahami semata-mata dengan hikmat manusia. Diperlukan suatu pemahaman dengan sudut pandang dari dalam, sebagaimana disodorkan Yesus: ambillah roh atau semangat pokok aturannya dan wujudkanlah roh itu seturut panggilan Allah bagimu.
Tentu wajar memahami Ekaristi mingguan sebagai kewajiban, karena memang begitulah adanya. Ini adalah sudut pandang dari luar, heteronom: misa adalah sesuatu yang ada di luar perhatianku dan ditempelkan padaku karena aku Katolik. Akan tetapi, misalnya, menghayati Misa Minggu/Hari Raya semata-mata sebagai kewajiban jelaslah mengebiri Roh yang menggerakkan orang untuk merayakan iman bersama umat lain. Roh ini tampak dikebiri ketika umat hanya fokus pada khotbah pastornya, ketika orang sibuk berwacana mengenai Kudus harus dinyanyikan atau tidak, apakah doa damai boleh diucapkan umat atau tidak, apakah pusar penari boleh kelihatan atau tidak, apakah boleh misa sebelum mandi setelah olah raga, bla bla bla... sedemikian rupa sehingga orang malah kehilangan roh/semangat untuk merayakan iman bersama-sama, berbagi ruang doa, suka duka...

Intermezzo: What do you mean by 'holy'?

Ironic that those most holy are least likely to see themselves that way ― Mark BuchananThe Holy Wild: Trusting in the Character of God
Awam suci
Kata-kata dalam cover majalah ini memicu logat betawi saya, "Maksud loe?"
Dengan segala hormat, catatan ini hanya dimaksudkan untuk mewaspadai pemahaman yang rawan kesesatan. Memang betul bahwa awam juga bisa suci, sebagaimana klerus juga bisa suci. Tetapi, apa artinya kesucian?
Di dalam isi majalah itu tampak bahwa awam boleh mencecapi spiritualitas yang dihayati ordo tertentu. Tentu saja ini sesuatu yang layak dihargai. Meskipun demikian, semoga rumusan 'awam juga bisa suci' tidak perlahan-lahan semakin mengkristalkan oposisi biner bahwa klerus suci - awam kurang suci (dan karenanya mesti mengambil spiritualitas klerus supaya suci). Semoga kesucian tidak dikerdilkan sebagai kuantitas jam doa dan umat memahami bahwa baik awam maupun klerus memiliki ranah kesucian yang khas untuk masing-masing (Lumen Gentium 42). Oremus pro invicem.

Saturday, February 15, 2014

Possibility of the impossible

Sabtu Masa Biasa Va/II
1Raj 12, 26-32; 13, 33-34
Raja Yerobeam benar-benar merusak relasi rakyat dan satu2nya Allah mereka dengan membuat dua patung emas anak lembu di dua tempat, Betel dan Dan; mengangkat imam yang bukan dari suku Lewi. Pokoknya ia tidak ingin rakyat beribadat di Yerusalem dan kembali kepada Rehabeam, dan ia mungkin akan dibunuh. Ia memanipulasi relasi umat dan Allah. Ia benar-benar tak mengerti bahwa manipulasi di dunia ini tak pernah bisa diandalkan: demokrasi, junta militer, sosialisme, kapitalisme, bla bla bla...

Injil Markus 8, 1-10
Bela rasa Yesus kepada sekumpulan banyak orang yang mengikutinya berujung pada tindakan mukjizat: orang saling berbagi. Berbagi lapar, berbagi kekurangan, berbagi waktu. Betapa sulitnya mengikuti Yesus dan keteguhan mereka sampai titik nadir membuka jalan bagi berkat yang tampaknya tak masuk akal: tujuh roti untuk empat ribu orang.

paro_spa
Memutlakkan apapun di luar Allah (hanya dengan ini itu sesuatu bisa berjalan) menutup peluang realisasi proyek keselamatan Allah: membuat apa yang tak mungkin tetap jadi tak mungkin. Bencana kelaparan, bencana alam, dan aneka kesusahan lain mengundang orang untuk bertindak dan maraklah paham bahwa kalau orang solider, ia harus berbuat sesuatu yang konkret (langsung) bagi para korban bencana. Sayangnya, doa dianggap bukan sesuatu yang konkret dan paham ini mereduksi doa sebagai hanya membuat tanda salib dan komat kamit, bukan bela rasa yang diserukan kepada Allah (yang bisa membuka kreativitas pendoanya untuk berbuat sesuatu).

Kata nan ber'tuah' - kata yang berbuah

Jumat Masa Biasa Va/II; Peringatan Wajib St. Sirilus & Metodius
Kis 13, 46-49
Orang2 seperti Paulus dan Barnabas ini rupanya begitu terbakar oleh cinta Tuhan sendiri. Mereka tidak kehilangan keberanian untuk menghadapi orang2 Yahudi yang begitu iri dan marah karena perkembangan kelompok orang yang mau percaya kepada pewartaan rasul itu. Tak heran, Paulus bicara bahwa ia hidup, tetapi bukan lagi ia sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup dalam dirinya (Gal 2:20).
Injil Lukas 10, 1-9
Tujuh puluh murid tampaknya diutus bukan sekadar untuk berkhotbah. Untuk berkhotbah, modalnya cukup dengan mengingat banyak kata dan mungkin teknik public speaking. Mereka lebih2 diutus untuk memberi kesaksian, mengkomunikasikan hati yang sudah disentuh, disulut oleh Kristus. Pun jika kesaksian itu diberikan lewat khotbah, kata-kata orang yang bersaksi ini bukan kata-kata hafalan atau ingatan dari kata-kata Yesus, melainkan kata-kata yang sudah meresap dalam hati. Kata yang meresap dalam hati adalah kata yang dihidupi oleh para saksi. Tak ada kata yang memberi hidup bagi orang lain yang tidak melewati hati. Tak heran, kekuatan kata tidak terletak pada susunan hurufnya sendiri, tetapi pada karakter yang mengatakannya.
paro_spa
Setiap orang Kristen 'otomatis' adalah saksi Sabda Kristus yang memberi hidup bagi sesamanya. Sabda Kristus yang manakah yang kuhidupi? Atau malah lebih banyak kata-kata kosong?

Friday, February 14, 2014

Dosa Menjauhkan, Doa Mendekatkan

Kamis Masa Biasa Va/II 
1Raj 11, 4-13
Nyeleweng dari teman atau sahabat masih bisa dimengerti. Ketubuhan selalu membawa perbedaan dan perbedaan ini bisa membawa konflik kepentingan. Keputusan seseorang mungkin bisa merongrong kepentingan orang lain dan jika tak ada yang mengalah, pertengkaran tak terhindarkan (ilustrasi ini mungkin bisa membantu pemahaman). Akan tetapi, nyeleweng dari Tuhan, ini berarti menyangkal jati diri dan membiarkan diri terbelenggu oleh aneka kepentingan fisik. Ini dosanya dosa, biang penyelewengan yang fisik itu (dari teman, sahabat, suami, istri, dlsj)
Injil Markus 7, 24-30
Tirus rupanya dicap sebagai wilayah 'kafir' tetapi Yesus mau berkunjung juga, dan dari kunjungan itu dinyatakan oleh Yesus bahwa keselamatan juga ditujukan kepada orang yang memiliki ketulusan dan keteguhan iman dalam mengharapkan Tuhan. Perempuan itu mendapatkan apa yang diinginkan, Yesus sendiri seolah menunjukkan pada orang Yahudi: ini nih apa yang ada dalam hati orang, yang kalian anggap sebagai 'kafir'!
paro_spa
Jika sungguh tulus berdoa, orang menjalin relasi pribadinya dengan Tuhan, sekaligus menjadi inklusif terhadap keselamatan orang lain yang bahkan dicap 'kafir' oleh banyak orang. Modal keselamatan orang bukanlah cap baik-buruk dari banyak orang, melainkan dari relasi intimnya dengan Allah sendiri dan buah relasi itu dalam hubungannya dengan sesama.