Friday, February 21, 2014

Principle and Foundation of Human Life

Banyak orang gagap menjawab pertanyaan mengenai tujuan hidupnya dengan aneka alasan. Pada umumnya orang mengatakan (karena begitulah dikatakan orang lain) bahwa tujuan hidup manusia adalah mencari kebahagiaan.
Orang seolah tidak sadar bahwa kebahagiaan merupakan suasana yang tidak perlu dicari-cari: ia sendiri bisa menciptakannya, entah dengan meditasi, entah dengan aneka manipulasi. Lha, andaikanlah hidup ini seperti lomba marathon. Startnya adalah kelahiran kita dan garis finishnya adalah kematian. Di manakah kebahagiaan itu kita tempatkan? Kalau kita mau konsisten dengan target atau tujuan, kebahagiaan itu kita tempatkan di garis finish. Artinya, kebahagiaan itu nanti dicapai pada saat kematian!
Pada kenyataannya, karena kebahagiaan adalah suatu suasana, ia tidak perlu ditunggu adanya sampai setelah orang mati. Orang bisa bahagia sekarang ini dan di sini. Orang yang enjoy dengan waktu dan tempat hidupnya, tentulah dia happy, tidak dihancurkan oleh aneka problematika, perasaan, konflik, beban hidupnya. Orang seperti ini hidup tanpa beban meskipun barangkali tugasnya berat. Orang ini enjoy dan sungguh kontak dengan kenyataan. Ia happy dan tak perlu mengidam-idamkan kebahagiaan sebagai tujuan hidupnya.
Goal of life
paro_spa
Untuk memahami tujuan hidupnya, manusia perlu menimbang-nimbang suatu azas dan dasar yang terbuka untuk semua saja tanpa tergantung pada afiliasi religius yang dihidupinya. Kalau orang secara fundamental tidak menerima azas dan dasar ini, ia tidak dapat mempertanggungjawabkan suatu hidup multidimensional yang terintegrasi dengan baik. Hidupnya, kesuciannya jatuh pada ekstrem atau ujung pendulum antara masa lalu dan masa depan, antara yang privat dan publik, antara yang duniawi dan surgawi, dan seterusnya.
Azas dan dasar ini konsekuen dengan pengakuan mengenai dua hal. Pertama, dunia ini tercipta, bagaimanapun rumusan penjelasannya. Artinya, ada Sang Pencipta, bagaimanapun diistilahkan atau dirumuskan atau dinamakan. Kedua, ada relasi antara dunia tercipta dan Sang Pencipta dalam dimensi ruang waktu ini, bagaimanapun relasi itu mau dihayati atau dijelaskan.
Azas dan dasar itu bisa dijabarkan dalam empat poin:
  1. Manusia, sosok yang berkesadaran kolektif, diciptakan Sang Pencipta untuk memuliakan Sang Penciptanya: memuji, mengabdi, melayani... Manusia tidak terlempar dari ketiadaan begitu saja: ia masuk dalam proses bahkan sejak sebelum terjadi perjumpaan benih laki-laki dan perempuan dari ayah ibunya. Proses itu berujung pada kembalinya manusia kepada ribaan Sang Pencipta. Jika demikian, untuk apakah hal-hal lain (manusia lain, hewan, tumbuhan, kejahatan, kemiskinan, agama, masyarakat, negara, bangsa dan sebagainya) di dunia ini ada dan tercipta?
  2. Ciptaan lain di dunia ini berstatus sebagai sarana manusia untuk memuliakan Sang Penciptanya. Manusia bisa menggunakan ciptaan yang lain itu sebagai sarana untuk mengabdi Sang Pencipta.
  3. Oleh karena itu, dari pihak manusia dibutuhkan suatu sikap lepas bebas (detachment) terhadap sarana-sarana itu. Artinya, ia bisa memakai ciptaan lain sejauh mendukung dirinya untuk mengabdi Sang Pencipta dan melepaskan ciptaan itu sejauh tidak mendukung tujuannya diciptakan. Ia tidak perlu menginginkan sehat lebih daripada menginginkan sakit (karena sakit pun bisa mendukung orang untuk memuji Sang Pencipta), juga tak perlu mengidam-idamkan kekayaan lebih daripada mengharapkan kemiskinan. Pokoknya manusia sadar bahwa anything may happen to his life dan kesemuanya itu bisa menjadi sarana, tetapi juga bisa menjadi penghambat.
  4. Akan tetapi, kalau orang sungguh sudah lepas bebas terhadap aneka sarana, ia pun mestilah mengusahakan suatu sarana yang lebih tepat bagi dia untuk mencapai tujuannya. Meskipun ia sudah lepas bebas terhadap entah menjadi kaya atau miskin, ia haruslah mengupayakan sarana yang paling tepat baginya untuk mencapai tujuannya memuliakan Sang Pencipta.
Beberapa catatan penting:
  • Tujuan hidup manusia bukan kata benda (kekayaan, jabatan, prestasi, popularitas) atau kata sifat (sukses, bahagia, damai, tenang), melainkan kata kerja, suatu aktivitas. Ini mengindikasikan bahwa tujuan itu dikejar sepanjang hayatnya dan orang tak perlu terpaku pada hasil (NATO: No Attachment To the Outcome).
  • Kekeliruan manusia pada umumnya, mereka menerapkan azas ke-4 tanpa dasar azas ke-3 sehingga memutarbalikkan sarana sebagai tujuan dan tujuan malah menjadi sarana (menggembar-gemborkan religiusitas demi meningkatkan pendapatan bisnisnya). Orang mengklaim mencari harta demi mengabdi Sang Pencipta (dengan menyejahterakan banyak orang), tetapi ketika bisnisnya collapse dan jatuh miskin, dia stress berat dan tak bisa bangkit; itu adalah indikasi kuat bahwa harta bukan lagi sarana (kecuali jika stressnya disebabkan oleh compassion terhadap orang-orang lain yang menanggung akibat bisnisnya yang collapse).

Faith synchronized!

Jumat Masa Biasa VIa/II
Yak 2, 14-24.26
Apa gunanya, Saudara-saudaraku, jika orang berkata bahwa ia memiliki iman padahal ia tidak mempunyai perbuatan? Bisakah iman itu menyelamatkan dia? Jika seorang saudara atau saudari tak mempunyai pakaian dan kekurangan makanan sehari-hari, dan seorang dari kalian berkata,"Pergilah dalam damai, pakailah baju hangat dan makanlah sampai kenyang" tetapi ia tidak memberikan kepada orang itu apa yang dia perlukan bagi tubuhnya, apakah gunanya itu? Demikian juga iman: jika iman tidak disertai perbuatan, iman itu pada hakikatnya mati.
Mrk 8, 34 - 9,1
Setiap orang yang mau ikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya. Karena siapa yang mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku dan karena Injil, ia akan menyelamatkannya.

imagesCASIW5WV
Imam jafar
Kata-kata Imam Ja'far ini dapat merangkum poin bacaan pertama: klaim bahwa orang memiliki iman dibenarkan jika klaim itu sinkron dengan perbuatannya kepada sesama. Persoalannya, sinkronisasi iman dan perbuatan tidak sesederhana sinkronisasi dari kamera ke komputer atau dari flash drive ke laptop, misalnya. Sinkronisasi seperti ini secara teknis tidak memiliki kesulitan yang canggih, cukup melakukan beberapa klik sehingga data pada peranti tablet sama persis dengan data yang ada pada komputer atau server yang kita gunakan. Demikian halnya, untuk membuat sinkron data sistem komputer atau antivirus, hanya dibutuhkan koneksi internet dan beberapa klik sehingga kita bisa memastikan bahwa sistem kita benar-benar up to date.
Sinkronisasi iman-perbuatan rupanya menuntut suatu askese, penyangkalan diri, karena dalam diri manusia ada hukum-hukum yang bisa saling bertentangan. Misalnya, seseorang sesungguhnya ingin sekali pergi ke gereja untuk menyusun suatu liturgi yang hidup bersama anggota tim lainnya, tetapi pada saat yang sama ia tertarik untuk menonton pertandingan tim Indonesia melawan Malaysia yang tidak disiarkan secara ulang. Contoh lain, di satu sisi orang ingin dekat dengan kaum miskin, akan tetapi di lain sisi ia menikmati kemewahan fasilitasnya sendiri. Orang tidak bisa keluar dari zona nyamannya.
Di situlah letak relevansi sabda Kristus: tidak bisa orang mengikuti Kristus tetapi mempertahankan kelekatan-kelekatannya, bahkan kelekatan pada ajaran agama atau paham tentang Allahnya sekalipun. Setiap saat umat beriman dipanggil untuk membuat sinkronisasi seluruh hidupnya dengan sebuah azas dan dasar yang terbuka untuk seluruh umat manusia. Di sini dia mesti terbuka untuk menanggalkan paham-pahamnya yang sesat, yang seringkali jauh lebih sulit daripada melepaskan barang-barang duniawi. Tanya kenapa....

Thursday, February 20, 2014

Put your liberating glasses on!

Yak 2, 1-9
... Dengarkanlah, hai saudara-saudara yang kukasihi! Bukankah Allah memilih orang-orang yang dianggap miskin oleh dunia ini untuk menjadi kaya dalam iman dan menjadi ahli waris Kerajaan yang telah dijanjikan-Nya kepada mereka yang mengasihi Dia? Tetapi kalian telah menghinakan orang-orang miskin. Bukankah justru orang-orang kaya yang menindas kamu dan yang menyeret kamu ke pengadilan? Bukankah mereka yang menghujat Nama yang mulia, yang oleh-Nya kalian menjadi milik Allah?....Jika kalian membeda-bedakan orang di hadapan hukum (kasih) karena kaya miskinnya, kalian berbuat dosa dan oleh hukum itu menjadi nyata bahwa kalian melakukan pelanggaran.
Mrk 8, 27-33
Yesus dan murid-murid-Nya blusukan ke kampung-kampung di sekitar Kaisarea Filipi dan pada saat itu Yesus menanyakan soal identitas diri-Nya bagi mereka. Aneka jawaban diberikan seturut kata orang, dan ketika diminta pandangan mereka sendiri, Petrus menjawab bahwa Yesus adalah Mesias. Tetapi, ketika Yesus menjelaskan apa itu Mesias (yang harus menderita, ditolak, dibunuh, lalu bangkit setelah tiga hari), Petrus malah menegur Yesus. Yesus balik memarahi Petrus, "Enyahlah Iblis, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia."
imagesCASIW5WV
Kemarin lusa kita disodori kisah perbedaan cara pandang Yesus dan murid-muridnya. Hari ini kita mendengar pokok yang sama: Yesus bicara mengenai Mesias sejati (yang komplet dengan penolakan, sengsara, kematian dan kebangkitan), sementara Petrus hanya pikir mengenai kejayaan Mesias. Belum ada dalam kamus Petrus dan murid yang lain bahwa kejayaan Mesias itu dicapai dengan penderitaan. Mesias haruslah sosok mulia yang mengalahkan segala kejahatan tanpa harus mengeluarkan setetes darah pun. Cara pandang shortcut Petrus dan murid-murid Yesus yang lain inilah yang rupanya membuat mereka bebal dan tak juga bisa memahami perkataan-perkataan Yesus.
Cara pandang ini justru memuat bahaya yang belakangan terkuak: orang menggunakan segala cara supaya dapat memenangkan tuntutannya, mengalahkan musuh, menggembosi partai lawan. Orang berduit bisa mempermainkan hukum dan semakin tertindaslah orang yang tak berduit. Ini adalah penyelesaian persoalan dengan cara pikir manusiawi yang sesungguhnya membebani setiap pihak: yang menuntut dan yang dituntut akhirnya main uang, hakimnya sendiri dibuat tumpul hatinya.
Akan tetapi, bagaimana mungkin kita berpikir dengan cara pikir Allah? Mungkin saja. Kriterianya: menerapkan hukum kasih secara adil bagi siapa saja tanpa memandang status sosial-ekonomi. Di hadapan hukum kasih Allah, semua orang sederajat, tidak ada pilih kasih atas dasar kekuasaan dan kekayaan yang dimiliki orang. Orang kristen dituntut menerapkan hukum kasih nan adil itu dengan risiko: kalau hujan deras, orang baik membawa payung, orang jahat tidak membawa payung, dan yang menanggung derita adalah orang baik, karena orang jahat merampas payungnya.
Kemuliaan (kesuksesan, kekayaan, kesejahteraan) yang dicapai tanpa penderitaan barangkali tak bermakna banyak karena hanya mendompleng kemuliaan orang lain: swarga nunut neraka katut....

Intermezzo: Attachment and Grace

Abu vulkanik yang menempel pada talang dan tidak segera dibersihkan akan menimbulkan masalah: jika bercampur air dan tidak larut pergi akan melekat pada talang. Sulit dibersihkan, menjadi beban bagi talang dan kapasitasnya 'menjalankan tugas' berkurang karena volume daya tampungnya menjadi lebih kecil.
Dalam tradisi hidup rohani, kondisi seperti itu dikenal sebagai suatu kelekatan, attachment, dari bahasa Perancis kuno atache, yang berarti memakukan objek kepada sesuatu yang lain. Apa yang dipakukan? Desire!
paro_spa
Setelah dua dekade mendengarkan begitu banyak pasien, Gerald G. May, seorang psikiatris Amerika, yakin bahwa semua orang memiliki suatu kerinduan, bahkan lebih dari itu, hasrat meluap-luap yang built-in dalam dirinya: inborn desire for God. Entah orang sadar diri sebagai makhluk religius atau tidak, hasrat itu merupakan kerinduan terdalam dan menjadi harta karun yang paling berharga. Harta itulah yang memberi makna.
Akan tetapi, sebagian orang memendam hasrat itu, menimbuni hasrat itu dengan begitu banyak kepentingan dengan berbagai cara: sebagai kerinduan akan wholeness, pemenuhan, pelengkapan. Bagaimanapun dijelaskan, itu adalah kerinduan akan cinta (dan tak sedikit orang menertawakan kata ini): kelaparan akan cinta, dicintai, dan mendekat pada Sumber cinta itu. Ini adalah esensi roh manusia, asal dari segala harapan tertinggi dan mimpi yang paling mulia.
Mengapa orang sering memendam hasrat akan cinta itu? Karena cinta membuat orang rapuh terhadap luka. Kata passion, yang biasa dipakai untuk mengungkapkan hasrat cinta yang kuat, berasal dari akar kata bahasa Latin passus, yang berarti 'menderita'. Orang tahu bahwa selain membawa kegembiraan, cinta bisa membuatnya menderita. Ini terjadi setelah seseorang menolak, mengibaskan cintanya; hasrat orang terlumpuhkan dan mungkin butuh waktu lama sekali sebelum ia siap untuk mencinta lagi.
Manusiawi tentu saja! Kita menekan kerinduan kita jika orang melukai kita secara keterlaluan. Barangkali tidak mengherankan juga bahwa kemudian kita melakukan hal yang sama terhadap kerinduan terdalam kita kepada Tuhan. Tuhan tidak selalu datang kepada kita dengan cara yang menyenangkan, yang sesuai dengan harapan kita. Akibatnya, kita menekan, mengabaikan kerinduan akan Tuhan tersebut.
Ketika kita menekan, memendam suatu hasrat, kita berusaha mengeluarkan hasrat itu dari kesadaran kita. Kita mencoba mengarahkan fokus kita kepada hal lain, hal-hal yang lebih aman, yang tidak melukai diri kita. Ini yang dalam psikologi dikenal sebagai displacement. Akan tetapi, sesuatu yang ditekan itu tidak sungguh-sungguh hilang; ia toh tetap tinggal dalam diri kita. Kita bisa saja memendam kerinduan akan Allah itu, tetapi kerinduan itu menghantui kita. Kerinduan itu tetap tinggal dan sewaktu-waktu muncul ketika kita siap berurusan dengannya. Karena itu, represi, pemendaman kerinduan itu sifatnya fleksibel, masih bisa kita olah sendiri.
Addiction, lebih merusak daripada represi, melecehkan kebebasan kita dan membuat kita melakukan sesuatu yang sebenarnya kita tidak ingin melakukannya (bdk. Rom 7:15). Jika represi melumpuhkan desire, kecanduan itu memantek desire, mengikat dan memperbudak energi hasrat itu pada perilaku, benda, atau orang tertentu. Objek kelekatan itulah yang kemudian menjadi obsesi dan keprihatinan kita, yang menyetir hidup kita, menciptakan addiction.
Kita semua memiliki addiction, yang menjadi musuh terburuk diri kita. Addiction ini merantai kita sedemikian rupa sehingga kita tak bisa lagi mengontrolnya. Addiction ini juga membuat kita memberhalakan sesuatu, memaksa kita untuk mendewakan objek kelekatan kita sehingga kita tak lagi bisa bebas mencintai Tuhan dan sesama. Addiction sungguh menjadi musuh kebebasan manusia, antipati terhadap cinta.
Meskipun demikian, addiction secara paradoksal bisa menuntun kita pada apresiasi mendalam terhadap apa yang disebut rahmat. Pengakuan adanya addiction bisa membimbing kita pada sikap tafakur, berlutut di hadapan kekuatan yang melampaui kontrol diri kita: rahmat.
Psikoterapi tradisional, yang mengandalkan pelepasan aneka represi dalam diri manusia, telah membuktikan bahwa treatment terhadap represi itu tidak efektif jika diterapkan pada kasus addiction. Metode itu juga menunjukkan mengapa addiction menjadi musuh psikis terkuat terhadap hasrat manusia akan Tuhan, karena posisinya memang antagonis terhadap rahmat.
Bak seorang dokter yang mengapresiasi sakit seseorang, ia senang bahwa pasien bisa mengatakan sakitnya, bukan karena dokter akan mendapat bayaran atau karena dokter senang melihat penderitaan orang lain, melainkan karena dengan mengetahui bagian-bagian yang sakit, dokter bisa melakukan diagnose, treatment yang tepat, yang bisa menyembuhkan pasien itu. Dalam arti itulah bisa dipahami bahwa di mana ada banyak dosa, di situ rahmat berlimpah (Rom 5:20).
Demikian halnya, pengakuan akan adanya addiction dalam diri kita memberi kemungkinan bagi kita untuk menghargai rahmat, karena addiction tidak cukup dihentikan dengan usaha atau kekuatan kita sendiri. Dibutuhkan rahmat juga supaya kita terbebaskan dari aneka belenggu kelekatan dan addiction.
Sumber: Gerald G. May, Addiction & Grace: Love and Spirituality in the Healing of Addictions.

Gerald G. May on Desire

Desire
There is a desire within each of us,
in the deep center of ourselves
that we call our heart.
We were born with it,
it is never completely satisfied,
and it never dies.
We are often unaware of it,
but it is always awake.
It is the Human desire for Love.
Every person in this Earth yearns to love,
to be loved, to know love.
Our true identity, our reason for being
is to be found in this desire.
Love is the "why" of life,
why we are functioning at all.
I am convinced
it is the fundamental energy
of the human spirit.
the fuel on which we run,
the wellspring of our vitality.
And grace,
which is the flowing,
creative activity, of love itself,
is what makes all goodness possible.
Love should come first,
it should be the beginning of,
and the reason for everything.”

Wednesday, February 19, 2014

Dengarkan dulu, lalu kerjakan secara total

Rabu Masa Biasa VIa/II
Yak 1,19-27
Hendaknya setiap orang siap mendengarkan, tak tergesa-gesa bicara dan lamban untuk marah. Kemarahan manusia memang tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Tuhan. Karena itu,  bebaskan diri kalian segala ketidakmurnian dan kejahatan, dan terimalah dengan lemah lembut firman yang tertanam dalam diri kalian, yang dapat membawa kalian kepada keselamatan.
Mrk 8,22-26
Yesus dan murid-muridnya tiba di Betsaida, dan di situ orang membawa kepada Yesus seorang buta supaya Yesus menjamahnya. Yesus memegang tangan orang buta itu dan membawa dia keluar kampung, lalu Ia meludahi mata orang itu dan meletakkan tangan-Nya atasnya... Yesus meletakkan lagi tangan-Nya pada mata orang itu, maka orang itu sungguh-sungguh melihat dan telah sembuh sehingga dapat melihat segala sesuatu dengan jelas bahkan dari kejauhan...
 imagesCASIW5WV
Penyembuhan Yesus kali ini tidak seperti penyembuhan yang dikisahkan di tempat lain: terjadi secara gradual. Rupanya Yesus tidak terikat pada metode tertentu untuk menyembuhkan orang. Dia bisa saja menyembuhkan hanya dengan mengucapkan sepatah dua patah kata, tetapi kali ini Yesus bahkan menuntun orang itu ke luar kampung (barangkali supaya tingkat ketuntasannya bisa diverifikasi, melihat dari jarak dekat sampai jauh).
Orang buta ini sendiri tampaknya tidak sangat antusias seperti orang-orang sakit lainnya yang menginginkan kesembuhan. Ini seperti orang yang tak sadar diri sebagai orang sakit, orang rapuh, yang butuh disembuhkan: ia buta juga secara spiritual. Proses kesembuhannya justru ditopang oleh iman orang lain kepada Yesus, sang pembawa mukjizat.
Untuk menyembuhkan orang yang mengalami kebutaan rohani seperti itu, rupanya Kristus menyentuh dimensi pengetahuannya yang rancu; tak bisa membedakan antara orang dan pohon. Lama-lama pengetahuan itu semakin clear & distinct. Semula ia tak pikir mengenai kesembuhan karena tak punya kepercayaan sehingga tidak begitu antusias, tetapi dalam bimbingan Kristus, ia sungguh sembuh total. Yesus melakukan tugasnya hingga tuntas, betapapun metodenya bisa berbeda.
Akan tetapi, keselamatan yang dibawa-Nya terwujud ketika orang memiliki keterbukaan hati: siap mendengarkan, tak tergesa-gesa berkomentar untuk menyanggah, apalagi bereaksi secara emosional terhadap hal yang orang kurang menaruh kepercayaannya. Kalau belum paham, bagaimana orang bisa memberi respon yang tepat?
Ya Tuhan, semoga aku dapat belajar untuk lebih mendengarkan atas hal-hal yang aku kurang paham dan berani mengerjakan tugas secara tuntas, tidak setengah-setengah atau terseret mood, dengan aneka cara yang bisa diambil. Amin.

Tuesday, February 18, 2014

You miss the point, bro'...

Yak 1, 12-18
Berbahagialah orang yang bertahan dalam pencobaan karena jika ia tahan uji, ia akan menerima mahkota kehidupan yang dijanjikan Allah kepada mereka yang mengasihi Dia... setiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri karena ia terpikat dan diseret olehnya....
Mrk 8, 14-21
Para murid kelupaan membawa roti dan Yesus berkata supaya mereka waspada terhadap ragi Herodes dan orang-orang Farisi. Lalu mereka meributkan mengapa guru mereka sampai berkata seperti itu: karena mereka tak punya roti (dan mereka saling menyalahkan). Yesus menegur mereka karena mereka gagal memahami bukan hanya perkataan Yesus, melainkan juga aneka peristiwa mukjizat yang mereka lihat dan alami sendiri.
paro_spa
Ragi Herodes dan orang Farisi juga disinggung lebih panjang dalam Injil Lukas bab 12. Seperti orang Farisi, Herodes meminta tanda juga: untuk menghancurkan anak yang diramalkan menjadi raja, menjadi ancaman bagi dirinya. Ragi ini merasuki banyak orang dan bisa menyesatkan orang dari jalan yang benar. Yesus melihat bahwa ragi ini memang sedang bekerja (sampai akhirnya kelak orang banyak meminta Yesus sendiri disalibkan).
Saat persekongkolan demi solidaritas cinta yang semu menjadi jalan kompromi terhadap prinsip-prinsip kesucian, saat itulah pasifisme, relativisme, sinkretisme, sikap permisif menggerogoti rumah Tuhan. Persekongkolan seperti ini tidak bisa dihadapi dengan kedangkalan rohani: para murid lebih sibuk dengan persoalan ada tidaknya roti, siapa yang bertanggung jawab atas ketiadaan roti. Mereka seolah-olah lupa juga bahwa baru saja mereka mengalami penggandaan roti yang begitu luar biasa. Mereka tidak menangkap poin yang disampaikan Yesus: trust kepada Bapa jauh lebih penting daripada soal siapa yang harusnya membawa roti [siapa yang mestinya menjaga 'kapel adorasi', siapa yang seharusnya memberi khotbah, siapa yang boleh mengucapkan doxologi dan sebagainya].
Orang mengira Tuhan mencobai dirinya, tetapi jelas cobaan itu diciptakannya sendiri karena tak menangkap apa yang dipesankan Yesus: andalkanlah Tuhan, bukan aneka peraturan yang memang bisa menarik orang untuk saling mempersalahkan! Orang tidak dapat tahan uji jika tidak mengingat betapa besar cinta Tuhan kepadanya.