Orang seolah tidak sadar bahwa kebahagiaan merupakan suasana yang tidak perlu dicari-cari: ia sendiri bisa menciptakannya, entah dengan meditasi, entah dengan aneka manipulasi. Lha, andaikanlah hidup ini seperti lomba marathon. Startnya adalah kelahiran kita dan garis finishnya adalah kematian. Di manakah kebahagiaan itu kita tempatkan? Kalau kita mau konsisten dengan target atau tujuan, kebahagiaan itu kita tempatkan di garis finish. Artinya, kebahagiaan itu nanti dicapai pada saat kematian!
Pada kenyataannya, karena kebahagiaan adalah suatu suasana, ia tidak perlu ditunggu adanya sampai setelah orang mati. Orang bisa bahagia sekarang ini dan di sini. Orang yang enjoy dengan waktu dan tempat hidupnya, tentulah dia happy, tidak dihancurkan oleh aneka problematika, perasaan, konflik, beban hidupnya. Orang seperti ini hidup tanpa beban meskipun barangkali tugasnya berat. Orang ini enjoy dan sungguh kontak dengan kenyataan. Ia happy dan tak perlu mengidam-idamkan kebahagiaan sebagai tujuan hidupnya.
Untuk memahami tujuan hidupnya, manusia perlu menimbang-nimbang suatu azas dan dasar yang terbuka untuk semua saja tanpa tergantung pada afiliasi religius yang dihidupinya. Kalau orang secara fundamental tidak menerima azas dan dasar ini, ia tidak dapat mempertanggungjawabkan suatu hidup multidimensional yang terintegrasi dengan baik. Hidupnya, kesuciannya jatuh pada ekstrem atau ujung pendulum antara masa lalu dan masa depan, antara yang privat dan publik, antara yang duniawi dan surgawi, dan seterusnya.
Azas dan dasar ini konsekuen dengan pengakuan mengenai dua hal. Pertama, dunia ini tercipta, bagaimanapun rumusan penjelasannya. Artinya, ada Sang Pencipta, bagaimanapun diistilahkan atau dirumuskan atau dinamakan. Kedua, ada relasi antara dunia tercipta dan Sang Pencipta dalam dimensi ruang waktu ini, bagaimanapun relasi itu mau dihayati atau dijelaskan.
Azas dan dasar itu bisa dijabarkan dalam empat poin:
- Manusia, sosok yang berkesadaran kolektif, diciptakan Sang Pencipta untuk memuliakan Sang Penciptanya: memuji, mengabdi, melayani... Manusia tidak terlempar dari ketiadaan begitu saja: ia masuk dalam proses bahkan sejak sebelum terjadi perjumpaan benih laki-laki dan perempuan dari ayah ibunya. Proses itu berujung pada kembalinya manusia kepada ribaan Sang Pencipta. Jika demikian, untuk apakah hal-hal lain (manusia lain, hewan, tumbuhan, kejahatan, kemiskinan, agama, masyarakat, negara, bangsa dan sebagainya) di dunia ini ada dan tercipta?
- Ciptaan lain di dunia ini berstatus sebagai sarana manusia untuk memuliakan Sang Penciptanya. Manusia bisa menggunakan ciptaan yang lain itu sebagai sarana untuk mengabdi Sang Pencipta.
- Oleh karena itu, dari pihak manusia dibutuhkan suatu sikap lepas bebas (detachment) terhadap sarana-sarana itu. Artinya, ia bisa memakai ciptaan lain sejauh mendukung dirinya untuk mengabdi Sang Pencipta dan melepaskan ciptaan itu sejauh tidak mendukung tujuannya diciptakan. Ia tidak perlu menginginkan sehat lebih daripada menginginkan sakit (karena sakit pun bisa mendukung orang untuk memuji Sang Pencipta), juga tak perlu mengidam-idamkan kekayaan lebih daripada mengharapkan kemiskinan. Pokoknya manusia sadar bahwa anything may happen to his life dan kesemuanya itu bisa menjadi sarana, tetapi juga bisa menjadi penghambat.
- Akan tetapi, kalau orang sungguh sudah lepas bebas terhadap aneka sarana, ia pun mestilah mengusahakan suatu sarana yang lebih tepat bagi dia untuk mencapai tujuannya. Meskipun ia sudah lepas bebas terhadap entah menjadi kaya atau miskin, ia haruslah mengupayakan sarana yang paling tepat baginya untuk mencapai tujuannya memuliakan Sang Pencipta.
- Tujuan hidup manusia bukan kata benda (kekayaan, jabatan, prestasi, popularitas) atau kata sifat (sukses, bahagia, damai, tenang), melainkan kata kerja, suatu aktivitas. Ini mengindikasikan bahwa tujuan itu dikejar sepanjang hayatnya dan orang tak perlu terpaku pada hasil (NATO: No Attachment To the Outcome).
- Kekeliruan manusia pada umumnya, mereka menerapkan azas ke-4 tanpa dasar azas ke-3 sehingga memutarbalikkan sarana sebagai tujuan dan tujuan malah menjadi sarana (menggembar-gemborkan religiusitas demi meningkatkan pendapatan bisnisnya). Orang mengklaim mencari harta demi mengabdi Sang Pencipta (dengan menyejahterakan banyak orang), tetapi ketika bisnisnya collapse dan jatuh miskin, dia stress berat dan tak bisa bangkit; itu adalah indikasi kuat bahwa harta bukan lagi sarana (kecuali jika stressnya disebabkan oleh compassion terhadap orang-orang lain yang menanggung akibat bisnisnya yang collapse).